Kamis, 18 Desember 2014

Jejak Wallace di Bumi Ternate….





Pada tulisan sebelumnya (berjudul : Dua Keajaiban dari Ternate) , aku sudah menyinggung soal Lorong  Wallace, di Kota Ternate. Setelah membaca ulang tulisan tersebut, aku merasa kurang puas. Tulisan itu masih terlalu sedikit untuk menggambarkan tentang kebesaran Wallace di masa lalu, dalam realitas  kekinian di Kota Ternate.
 
Betapa tidak, seorang Wallace, yang begitu kesohor, ternyata hanya diabadikan untuk sebuah lorong. Ironis banget deh.

Ya, Lorong Wallace. Lorong sangat sederhana ini teretak di salah satu sudut kota Ternate, Maluku Utara,  tepatnya di Jalan Juma Puasa, Kelurahan Sentiong, Kecamatan Ternate Tengah. 

Menurut  sejarahwan/ peneliti, JJ Rizal dan,  Ketua Ternate Heritage Society Bongky Maulana, , nama lorong  diabadikan untuk mengenang  Alfred Russel Wallace.  “Sampai sekarang letak persis kediaman Wallace itu tidak tahu dimana, tapi dipastikan di lorong ini,” kata Rizal yang bersama saya dan teman2 para pemenang lomba tulis Gemah Rempah Maha Karya Djie Sams Soe mengunjungi Ternate dan Tidore selama 3 hari (8-10 Desember 2014)

Keberadaan loronrg ini mungkin tak sebesar nama Wallace.  Lebar lorong itu hanya sekitar 2,5 meter, dengan aspal yang mulai megelupas. Di kiri kanannya terdapat rumah-rumah warga dengan bangunan biasa-biasa saja.

Namun, penetapan nama tersebut menunjukkan adanya ikatan historis antara Wallace dan Ternate. Nama Alfred Russel Wallace mungkin tidak dikenal di luar komunitas ilmiah, Namun ia memiliki kontribusi besar terhadap lahirnya Teori Evolusi Charles Darwin. 

Bahkan, Wallace dan Darwin berkolaborasi pada gagasan seleksi alam dan mempresentasikan temuan mereka  ke Linnean Society di London.  
Wallace melakukan perjalanan riset di mulai dari sungai Amazon( 1846). Hasil penjualan koleksi serangga selama di Amazon dijadikan modal untuk menjelajahi Nusantara.
 Selama delapan tahun (1854 - 1862) ia menjelajah berbagai wilayah di Nusantara. 

Catatan perjalanannya menjadi buku berjudul  The Malay Archipelago. Selama ekspedisinya di Nusantara, diperkirakan dia menempuh jarak tidak kurang dari 22.500 kilometer, dan mengumpulkan 125.660 spesimen fauna. 

Ia menyelamatkan catatannya dengan mengirimnya ke   Inggris melalui pos kapal-kapal dagang Eropa, termasuk ketika singgah di Pulau Ternate antara tanggal 8 Januari 1858 dan 25 Maret 1858. Saat di Ternate ia ia terserang malaria naun ia tetap memaksakan diri menulis surat dan mengirimkan kepada ilmuwan pujaannya, Charles Darwin di Inggris.

Surat Wallace dari Ternate kepada Darwin itu kemudian dikenal sebagai Letter from Ternate. Surat itu menjadi terkenal karena disertai makalah yang diberi judul On the Tendency of Varieties to Depart Indefinitelty from the Original Type.

Dari makalah itu, Wallace mengemukakan pemikirannya mengenai proses seleksi alam mempertahankan suatu spesies di dunia. Spesies yang mampu bertahan disebut Wallace sebagai hasil kelangsungan yang terbaik atau yang paling memiliki kemampuan bertahan tidak akan punah.

Itulah kerangka dasar pemahaman seleksi alam yang diletakkan Wallace saat itu. Akhirnya pemikiran itu menunjang teori evolusi yang dipopulerkan Darwin melalui bukunya The Origin of Species tahun 1859, satu tahun setelah penulisan makalah Wallace. 

Pada tanggal 1 Juli 1858, kawan-kawan Darwin, Charles Lyell dan Joseph Hooker, merekayasa pertemuan ilmiah di Linnean Society dan mendeklarasikan Darwin dan Wallace sebagai penemu dasar evolusi.

Wallace, sang naturalis yang tidak berpendidikan itu, memang pengagum berat Darwin. Ia mengirimkan berbagai manuskrip hasil penelitiannya kepada Darwin. Manuskrip yang sangat mempesona Darwin. 

 “Darwin justru menemukan  jawaban atas missing link dalam teori-teorinya pada manuskrip Wallace meskipun Darwin menerbitkan bukunya On the Origin of Species sebelum Wallace bisa mempublikasikan karyanya,” jelas Rizal.


Garis Wallace

Tak hanya berkontribusi pada  teori Darin, Wallace juga  mendapat pujian karena  dalam perjalanannya melintasikepulauan Indonesia,, melalui  data yang ia kumpulkan dengan mempelajari flora dan fauna di daerah, menemukan hipotesis yang mencakup bagian yang disebut Garis Wallace.

Garis Wallace adalah garis khayal di Indonesia antara Kalimantan dan pulau untuk dekat timur, Sulawesi. Jalur ini memiliki makna ekologi karena memisahkan dua daerah zoogeological yang masing-masing terkait dengan Asia dan Australia. Untuk sebelah barat garis, fauna lebih cenderung ke Asia.  Untuk bagian timurnya, lebih mirip dengan fauna Australia. 

Alasan untuk garis adalah parit laut dalam yang telah lama menjadi jurang antara kedua pulau selama jutaan tahun. Tanpa itu, mereka akan telah secara berkala terhubung saat Zaman Es menyebabkan permukaan laut lebih rendah sebanyak 120 meter (394 kaki), yang menghubungkan Kalimantan dengan daratan Asia dan Sulawesi dengan Australia.

Batas Garis Wallace menandai titik di mana ada perbedaan dalam spesies di kedua sisi garis. Untuk sebelah barat garis, semua spesies adalah sama atau berasal dari spesies yang ditemukan di daratan Asia.

 Di sebelah timur garis, ada banyak spesies yang keturunan Australia. Sejalan adalah campuran dari dua spesies dan banyak hibrida dari spesies khas Asia dan spesies Australia lebih terisolasi.



Begitu hebatnya seorang Wallace. Namun, sayangnya, di Kota Ternate, jejak nama besar Wallace itu hanya berbentuk sebuah lorong. Nama pada sebuah lorong ini mungkin tak begitu memberi banyak makna. Bahkan, bukan tidak mungkin ada saja warga yang tak paham mengapa lorong itu diberi nama Wallace.

Eksistensi seorang Wallace mungkin akan tampak begitu "Terhormat" jika disematkan dalam perspesktif lebih luas misalnya dalam bentuk Tugu Wallace. Sekadar pembanding, adanya tugu khatulistiwa di Balikpapan, yang menjadi juga suatu kebanggaan warga setempat.

Eksistensi Tugu Wallace apalagi  jika dituliskan pula tentang Wallace di sana, mungkin akan menjadi sebuah kebanggaan, bahkan menjadi  magnet pemanggil wisatawan, utamanya wisatawan sejarah. Karena dengan jelas, dalam bisunya, dia bercerita tentang sejarah emas. Ia menjadi penanda, dan penanda itu masih bisa dirasakan karena hingga detik ini Garis Wallace--salah satu penemuan brilian Wallace masih diakui di dunia.

Jumat, 12 Desember 2014

Dua Keajaiban dari Ternate



Ternate tak hanya memiliki potensi wisata luar biasa yakni:  bertemunya pantai  indah dengan gunung, benteng-benteng bersejarah , Kedaton Sultan Ternate,atau kuliner yang lezat,. Namun Ternate menyimpan keajaiban dua dunia yakni cengkeh dan Wallace.  

Melalui cengkeh berkualitas tinggi yang dimiliki Ternate, plus Tidore tentunya, kolonialisme Belanda di Indonesia lahir dan tumbuh subur. Sementara itu melalui manuskrip si jenius Wallacea, lahirlah teori evolusi  Charles Dawrin yang sangat menggetarkan dan menggemparkan dunia, serta lahirnya Garis Wallace

Bagaimana eksistensi keajaiban masa lalu itu pada era kekinian, berikut catatan perjalananku  yang melakukan Cultural Trip selama tiga hari (8-10 Desember) ke Ternate dan Tidore. Cultural Trip merupakan hadiah yang diberikan Dji Sam Soe kepada kami  para pemenang lomba tulis Gemah Rempah Maha Karya Indonesia 2014

Cultural trip yang dipandu tim Gelar  Nusantara  (Bram, Ratih, Mala), dan mendapat dukungan penuh tim Media Consultant, Imogen PR  (Widi Wahyu Widodo, Nurhasan, dan Ahmad Theoreza) ini juga diikuti sejarahwan dan peneliti UI, JJ Rizal,  budayawan Ternate Bongkie, dan timPublic Relation  Djie Sam Soe (Adinda Kuntoro & Ara). Ikut juga dewan juri Putu Fajar Arcana dan mbak Venus
                           ***
“Kalau boleh dikatakan tanpa cengkeh mugkin Indonesia tidak pernah ada,” kata sejarahwan UI, JJ Rizal.  Rempah-rempah Indonesia ini sudah selayaknya masuk ke dalam kategori “mahakarya” bumi Nusantara.Mahakarya ciptaan Tuhan ini mampu melahirkan mahakarya-mahakarya baru ciptaan manusia, mulai dari karya sastra hingga konsep politik lahirnya negara Indonesia.

Begitu berartinya cengkeh dalam sejarah panjang negeri ini.  Begitu pentingnya keberadaan Ternate dalam khazanah sejarah negeri ini. Cengkeh telah menggores peradaban, mempengaruhi banyak tradisi dan kebudayaan, serta menjadi komoditas penting dalam industrialisme Eropa.

 Namun, jejak keemasan rempah-rempah, itu seakan tak terasa ketika kita memasuki Ternate. Di bandara Sultan Babullah, sebagai pintu gerbang utama memasuki Ternate saja, tak ada isyarat identitas yang mencerminkan adanya kejayaan masa lalu cengkeh. Begitu juga ketika kita memasuki kota.

 Memang, ada sebuah tugu berbentuk cengkeh, tetapi tak “bunyi”. Demikian pula jajaran pepohonan cengkeh tak ada banyak ditemui di kota ini. Tak ada jejak-jejak peninggalan yang menggambarkan dahulu di sini pernah menjadi  pusat  perdagangan dan sentra cengkeh. Tak ada tanda-tanda pusaka nusantara ini pernah mejadi pemantik yang membius Eropa untuk menguasai  nusantara.

Cengkeh Afo

Namun,  nuansa itu mulai mengalir ketika kita memasuki kawasan Air Tege-Tege, Kelurahan Kelurahan Marikurubu, Kecamatan Ternate Tengah.  Sejak memasuki gerbang desa, pohon cengkeh dan pala tumbuh berjajar di kiri kanan jalan, juga di antara rumah-rumah warga. Memang ketika kami datang, aroma khas bunga cengkeh belum menyengat karena memang belum musim panen. “Namun cengkeh berbunga setiap tahunnya,” kata Basri, warga kota di kaki Gunung Gamalama ini.

Makin ke atas bukit, pohon –pohon cengkeh dan pala makin banyak.Menjelang puncak bukit, di sebuah area kita menemukan cengkeh Afo 2. “Disebut afo 2 karena di puncak sekali terdapat cengkeh afo 1,” jelas  Bongky Maulana Ibrahim dari Ternate Herritage Society (THS).

 Melihat posisinya, Afo 2 pasti memiliki keistimewaan khusus. Pohonnya  dinding semen sedemikian rupa, meski sudah banyak yang rusak.  Untuk mencapai kawasan ini terdapat tangga/undakan yang lumayan tinggi. Pemandangan cukup indah.  Kita harus melalui jalan setapak yang mngikuti kontur tanah berbukit dan meliuk-liuk. 

Menurut Bongky, di perkebunan ini   terdapat empat generasi cengkeh yakni  Afo 1 dan Afo 2 yang telah mati termakan usia, serta  dan Afo 3 dan Afo 4 yang saat ini masih tumbuh. Afo generasi pertama telah berusia lebih dari 400 tahun dan sudah mati, dan hanya  menyisakan puing-puingnya saja, berada di ketinggian sekitar 650 mdpl atau berbatasan dengan area hutan Gunung Gamalama.
 Sedangkan Afo generasi kedua menyisakan satu pohon yang masih bisa dilihat meskipun sudah mati. Letak pohon Afo dua ini, berada di ketinggian sekitar 400 mdpl dengan umur sekitar 200 tahun.

“Sebetulnya belum ada catatan pasti kapan
cengkeh Afo ini pertama kali tumbuh. Bisa jadi sebelum Afo 1, sudah ada varietas cengkeh lain mengingat dalam cerita sejarah bangsa Cina dan Arab sudah datang ke Ternate ini sejak abad-abad permulaan,” kata Bongky.

 Pohon Afo2 yang masih bisa kita saksikan itu relatif besar, dengan tinggi sekitar 20 meter dan ukuran garis tengahnya sekitar 1,2 meter dengan lingkar batang lebih dari 3 meter. Berbeda dengan Afo generasi pertama yang konon memiliki ukuran lebih besar, yakni 36,60 meter dengan garis tengah garis tengahnya 1,98 meter. Sedangkan lingkaran batang Afo1 yang cukup besar,4,26 meter. Semasa hidupnya hingga 1990-an, cengkeh Afo 1 bisa menghasilkan buah cengkeh 600 kilogram.


Pohon Cengkeh Afo yang tumbuh di kaki pengunungan Gamalama, Ternate, Maluku Utara, tidak hanya dimanfaatkan buahnya. Masyarakat Ternate khususnya, sangat terbantu dengan kehadiran cengkeh ini untuk menjaga kelestarian lingkungan dari ancaman banjir dan erosi hutan.

Akarnya  yang kuat mengikat tanah menjadikan cengkeh Afo menjadi penjaga hutan untuk mencegah erosi.  Cengkeh Afo juga memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap hama penyakit. Batang-batangnya cukup besar, kokoh dan tahan lama.  Ini terbukti dari masa tumbuhnya yang bisa bertahan hingga ratusan tahun. Cengkeh Afo memiliki kadar minyaknya banyak dan biji-biji buahnya besar. Karena itu, petani cengkeh di Malut cukup antusias menanam varietas cengkeh Afo, lebih diminati dari varietas lain.


Sejak punahnya generasi cengkeh Afo 1, pemerintah setempat kemudian mengupayakan agar jenis cengkeh ini bisa tetap dipertahankan. Karena itu, dilakukanlah peremajaan cengkeh Afo dua, tiga dan empat dengan melestarikan anakan cengkehnya. Secara resmi, peluncuran varieta cengkeh Afo sudah dilakukan Pemprov Malut pada 2010.

Lorong Wallaceae

 Di salah satu sutu kota Ternate, terdapat sebuah lorong bernama Lorong Wallace. Menurut JJ Rizal dan Bongky, nama ini diabadikan untuk mengenang Alfred Russel Wallace.  “Sampai sekarang letak persis kediaman Wallace itu tidak tahu dimana, tapi dipastikan di lorong ini,” kata Rizal.

Keberadaan loronrg ini mungkin tak sebesar nama Wallace. Namun, penetapan nama tersebut menunjukkan adanya ikatan historis antara Wallace dan Ternate. Nama Alfred Russel Wallace mungkin tidak dikenal di luar komunitas ilmiah, Namun ia memiliki kontribusi besar terhadap lahirnya Teori Evolusi Charles Darwin.

Bahkan, Wallace dan Darwin berkolaborasi pada gagasan seleksi alam dan mempresentasikan temuan mereka  ke Linnean Society di London.  Wallace, sang naturalis yang tidak berpendidikan itu, pengagum berat Darwin. Ia mengirimkan berbagai manuskrip hasil penelitiannya kepada Darwin. Manuskrip yang sangat mempesona Darwin.  

 “Darwin justru menemukan missing link dalam teori-teorinya pada manuskrip Wallace meskipun Darwin menerbitkan bukunya On the Origin of Species sebelum Wallace bisa mempublikasikan karyanya,” jelas Rizal

Wallace sendiri mendapat pujian karena  dalam perjalanannya melintasikepulauan Indonesia,, melalui  data yang ia kumpulkan dengan mempelajari flora dan fauna di daerah, menemukan hipotesis yang mencakup bagian yang disebut Garis Wallace.



 Garis Wallace adalah garis khayal di Indonesia antara Kalimantan dan pulau untuk dekat timur, Sulawesi. Jalur ini memiliki makna ekologi karena memisahkan dua daerah zoogeological yang masing-masing terkait dengan Asia dan Australia. Untuk sebelah barat garis, fauna lebih cenderung ke Asia.  Untuk bagian timurnya, lebih mirip dengan fauna Australia. 

Alasan untuk garis adalah parit laut dalam yang telah lama menjadi jurang antara kedua pulau selama jutaan tahun. Tanpa itu, mereka akan telah secara berkala terhubung saat Zaman Es menyebabkan permukaan laut lebih rendah sebanyak 120 meter (394 kaki), yang menghubungkan Kalimantan dengan daratan Asia dan Sulawesi dengan Australia.

Batas Garis Wallace menandai titik di mana ada perbedaan dalam spesies di kedua sisi garis. Untuk sebelah barat garis, semua spesies adalah sama atau berasal dari spesies yang ditemukan di daratan Asia. Di sebelah timur garis, ada banyak spesies yang keturunan Australia. Sejalan adalah campuran dari dua spesies dan banyak hibrida dari spesies khas Asia dan spesies Australia lebih terisolasi.

Benteng Bersejarah

                                                 Benteng Tolukko

Menyelusuri  jejeak kejayaan cengkeh  mau tak mau memaksa kita harus mengunjungi benteng-benteng yang ada di Ternate yakni  Benteng Tolukko, Benteng Oranje, Benteng Kalamata, Benteng Kotanaka, Benteng Santo Y Pablo (Fort Kota Janji), dan Benteng Nustra Se Nohra Del Rosario (Kastela)

Hal ini karena cengkeh adalah alasan bangsa Barat membangun benteng pertahanan di Ternate. Benteng itu menjadi saksi betapa cengkeh menjadi komoditas berharga yang dipertahankan dengan segala cara. Sayangnya benteng-benteng ini tidak terawatt dengan baik.

 

                                                    benteng Kalimata


Padahal benteng-benteng ini memiliki bangunan yang kokoh dan sangat eksotik. Benteng-benteng ini  berada di pinggir laut, terletak di bawah kaki gunung Gamalama, serta menghadap ke jajaran Pulau Halmahera yang indah. Menikmati hembusan angin laut dan sajian tari-tarian tradisional Ternate sambil mengunyah kuliner sedap Ternate sungguh pengalaman berkesan. Sekali lagi, sangat disayangkan potensi wisata ini tidak dirawat dengan baik. Rumput-rumput, lumut- lumut di dinding menjadi penanda. Bahkan, pemugaran yang dilakukan pemda setempat justru dikeluhkan banya sejarahwan dan budayawan karena pemugaran dinilai dilakukan serampangan hingga nilai historisnya hilang.

Istana Sultan Ternate
 
Dan, perjalanan budaya ini akan makin sempurna dengan mengunjungi istana Sultan Ternate . Sultan merupakan sosok penting dalam perlawanan rakyat Ternate melawan Belanda. Istana Kesultanan Ternate terletak di dataran pantai di Kampung Soa-Sio, Kelurahan Letter C, Kodya Ternate, Provinsi Maluku Utara. Letak Istana Kesultanan Ternate tidak jauh dari pusat kota
Kesultanan Ternate memiliki peran penting di kawasan timur nusantara sejak abad XIII hingga abad XVII. Di masa keemasannya, yakni pada abad XVI, kekuasaan kesultanan membentang mulai dari seluruh wilayah di Maluku, Sulawesi Utara, kepulauan-kepulauan di Filipina selatan, hingga kepulauan Marshall di pasifik.

Istana ini dipagari dinding berketinggian lebih dari 3 meter, yang menyerupai benteng. Di lingkungan istana ini juga terdapat komplek pemukiman raja dan keluarganya, dan komplek makam para pendahulu kesultanan. Istana bergaya Eropa yang menghadap ke arah laut ini, berada dalam satu komplek dengan mesjid kesultanan yang didirikan oleh Sultan Hamzah, Sultan Ternate ke-9.


Desain interior istana penuh dengan hiasan emas. Di ruang kamar bagian dalam terdapat peninggalan pakaian dari sulaman benang emas yang mewah, perhiasan-perhiasan dari emas dan kalung raksasa dari emas murni, mahkota, kelad bahu, kelad lengan, giwang, anting-anting, cincin, dan gelang yang hampir kesemuanya terbuat dari emas. Hal ini merupakan indikator bahwa Kesultanan Ternate pernah mengalami masa kejayaan.

Di samping itu, istana megah ini juga menyimpan, merawat dan memamerkan benda-benda pusaka milik kesultanan, seperti senjata (senapan, meriam kecil, peluru-peluru bulat, tombak, parang dan perisai), pakaian besi, pakaian kerajaan, topi-topi perang, alat-alat rumah tangga, dan naskah-naskah kuno (Al-Quran, maklumat, dan surat-surat perjanjian).