Ketika
soal politik dinasti yang dilakoni Gubernur Jawa Barat Ratu Atut
Chosiyah menjadi wacana hangat di publik, sejumlah pihak turut
berkomentar. Cukup mengejutkan buat saya karena sebagian yang
berkomentar itu justru juga melakukan politik dinasti.
Ibarat pepatah, kuman di seberang lautan nampak, gajah di pelupuk mata tak kelihatan.
Well…soal
itu silakan saja publik menilai. Tapi, yang menarik buat saya ketika
akhirnya muncul wacana untuk mengedepankan prinsip-prinsip meritokrasi
dalam berbagai system. Ketika Presiden SBY juga berbicara tentang
politik dinasti, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum,
justru meminta SBY untuk berada di garda terdepan memprakarsai prinsip
meritokrasi. (Pernyataan Anas ini, dalam konteks politik, tentu saja
sangat dalam dan bersayap…)
Kalau
kita lakukan survey, saya kira hampir sebagian besar warga di republik
ini setuju dengan prinsip meritokrasi, khususnya dalam meletakkan orang –
orang di pusat – pusat kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun
pemerintahan. Maklumlah, ratusan jutaan
penduduk Indonesia ini tidak memiliki akses hebat dalam jarring
kekuasaan, sehingga kecil peluang bagi mereka untuk masuk ke
pemerintahan jika mengandalkan akses jaringan.
Dalam
prinsip meritokrasi, yang terbaiklah yang paling berhak menduduki
jabatan. Dengan demikian, mereka yang tak memiliki kekuasaan, akan
memiliki peluang melalui kompetisi yang sehat.
Tetapi
secara faktual, konsep meritokrasi di negeri ini masih sebatas di atas
kertas. Ketika meritokrasi tidak diaplikasikan, maka pengisian pos – pos
jabatan pada kekuasaan dilakukan melalui kedekatan. Maka, merebaklah
prinsip kolusi, nepotisme, dan gratifikasi. Dari tiga hal ini, semuanya
nyaris mengarah pada praktek korupsi.
Di
era Orde Baru,kita kenal istilah AMPI yang merupakan singkatan ormas
Angkata Muda Pembaruan Indonesia (AMPI), salah satu underbouw Golkar.
Namun, singkatan AMPI ini kemudian diplesetkan menjadi anak, menantu,
paman, isteri. Singkatan ini muncul karena hampir di semua struktur
kekuasaan (politik, pemerintahan, ekonomi, dll) semua diisi nyaris oleh
sanak famili penguasa dan kroni – kroni terdekat mereka.
Ketika
Orde Baru rontok dan Orde Reformasi muncul, orang berharap model AMPI
ini terhapus. Tapi, ternyata tidak, bahkan makin parah, khususnya di
ranah politik. Di ranah pemerintahan, model AMPI perlahan tereliminasi.
Tapi, di dunia politik, tidak demikian, bahkan nyaris subur dan
cenderung melahirkan politik dinasti.
Lihatlah,
jika ketua umumnya si A, maka dipastikan semua posisi strategis diisi
orang terdekat si A. Jika posisi tidak diisi oleh sanak famili, keluarga
terdekat dan kroni –kroni, maka dipastikan ada unsure gratifikasi dan
kolusi di sana. Awam hanya bisa mengurut dada.
Dalam
catatan Kemendagri, ada 57 kepala daerah yang terindikasi melakukan
politik dinasti. Belum lagi di kalangan Orpol dan Ormas…Luar biasa
ya….orang lain hanya bisa mengurut dada.
Kawan,
kolusi, nepotisme, dan gratifikasi itu memang hal yang sangaaat
menyenangkan karena (bagi pelaku and his/her gang) memudahkan urusan.
Coba bayangkan, kalau kita berkolusi untuk suatu urusan, pasti deh
cincai….elu suka, gue suka….deal nya jelas…elu .selesai deh, asal tahu
sama tahu, gak perlu ngikuti aturan karena ghalilbnya sesuatu yang
bernama aturan pastilah penuh batasan – batasan yang terkadang tak
menyenangkan.
Nepotisme?
Apalagi. Dalam suatu organisasi/system sering kita menggunakan spoil
system. Secara naluri kita akan memilih orang – orang yang kita kenal,
kita percaya, untuk memperkuat posisi kita dan agar organisasi berjalan
lancer kan? Untuk memenuhi hal ini terkadang ukuran –ukuran atau
persyaratan dan prosedur tak perlu kita gunakan.
Nepotisme
lebih memberikan rasa aman ketimbang kita memilih orang yang tak kita
kenal track recodnya dan karakternya meski secara fit and proper test ia
layak. Apalagi fit and proper test kan lebih mengarah pada hal – hal
berkaitan dengan intelektual, sementara yang terkait karakteristik
/kepribadian/behavior/moralitas sering terabaikan. Maka, nepotisme menjadi pilihan demi keberlangsungan eksistensi kita.
Soal gratifikasi….saya percaya menjadi salah satu impian ketika orang – orang berjibaku
merebut kekuasaan. Hasil gratifikasi jauh berlipat ganda ketimbang
penghasilan/pendapatan resmi. Mana ada pejabat bisa kaya hanya lewat
gaji? Mana ada wartawan atau guru bisa kaya tanpa gratifikasi luar biasa
(faktanya emang wartawan n guru gak ada yang kaya ha ha ha…).
So,
kalau kolusi, nepotisme, dan gratifikasi merebak tentu saja sangat
dapat dimaklumi. Impian kita bisa terwujud, privilege bisa kita peroleh
manakala jalur ini kita pilih. Persoalannya, kolusi, nepotisme, dan
gratifikasi hanya menguntungkan sebelah pihak (pelaku), tapi merugikan
dan menyakitkan pihak lain. Dan jamak dipahami pihak lain ini jumlahnya
jauuuuh lebih besar dari pihak pelaku.
Tak
hanya itu, dengan melakukan kolusi, nepotisme, dan gratifikasi kita
bukan saja membunuh kesempatan atau hak orang – orang yang terbaik untuk
memiliki haknya menduduki suatu jabatan atau posisi atau tempat, juga
melecehkan dan merusak system, serta membunuh kompetensi sehat dan
harapan indah banyak orang.
Bayangkan
ada jutaan orang – orang terpinggirkan, orang – orang berpotensi tak
dapat menjadi PNS, menjadi mahasiswa AKABRI/AKPOL, IPDN, kepala daerah
hanya karena mereka tidak memiliki jaringan untuk kolusi, nepotisme, dan
kemampuan memberikan gratifikasi.
Jutaan
orang ini terpinggirkan dan posisinya digantikan oleh mereka yang belum
tentu memiliki kemampuan, bahkan sebaliknya justru berkepribadian
kotor. Pola-pola seperti ini tak saja mengkhianati profesionalisme,
juga tidak menghormati keberadaan institusi karena memberangus berbagai
standar mutu–yang ditetapkan institusi–yang seharusnya diterapkan
Orang
– orang yang lahir dalam pola – pola ini kelak ini dalam perjalanan
karirnya kelak susah diharapkan menerapkan kepemimpinan yang sehat,
keuangan yang bersih dan transparan, serta system yang sehat karena
secara moral ia tak memiliki itu. Kalau pun ia mempunyai kesadaran
untuk itu, namun nafsunya dan ketidakberdayaannya lebih menguasai
ketimbang kesadarannya untuk bersikap bersih. Dan orang – orang seperti
ini cenderung korups. Mereka bukanlah the right man on the right place…
Maka,
kita saksikan pemerintahan, kekuasaan, Negara yang dijalankan dengan
konsep kolusi, nepotisme, gratifikasi, dan korupsi cenderung tidak
membawa kebaikan, bahkan kehancuran. Maka, benarlah Islam ketika
mengatakan apabila kamu memberikan suatu pekerjaan bukan pada ahlinya,
maka tunggulah kehancurannya…..Subhanallah….
Itu
sebabnya kita sepakat bahwa nepotisme, kolusi, korupsi, dan gratifikasi
harus kita perangi bersama. Salah satu caranya adalah konsisten dan
disiplin dalam menjalankan system serta aturan. Semua berpegang pada dan
dalam koridor itu. Bermain dalam system akan dapat menganulir rasa
tak enak, rasa ewuh pakewuh. Berat memang…bahkan tak jarang harus
mengeluarkan air mata terutama jika yang jadi korban atas konsistensi
itu adalah orang – orang terdekat kita. Tapi itu harus kita lakukan
jika kita ingin kebaikan.
Memang,
dalam menegakkan aturan itu, pelakunya pasi akan memiliki musuh
terutama oleh mereka yang dirugikan kepentingannya, tetapi yaknilah
bahwa sejarah kelak mencatat system akan berjalan sehat dan lembaga menjadi berwibawa.Cara lain, tentu saja dengan menerapkan secara konsisten pinrip prinsip meritokrasi
Seiring
riuhnya wacana tentang meritokrasi, kita sangat berharap elit,
khususnya Presiden SBY, mulai mempelopori, memberi keteladanan untuk
menghapus KKN dan mengedepankan prinsip meritokrasi di semua system dan
lini.
Jangan Frustasi
Lantas,
bagaimana jika kita tidak berada dalam posisi memegang kendali
kekuasaan? Haruskah kita frustasi? Hm…..yang bisa saya katakan adalah
bahwa dalam situasi seperti ini, bekerja memerlukan sesuatu yang lebih
mendasar dari sekadar motif uang, kekuasaan, penghargaan, atau
prestise. Apakah itu?
ketika kita lahir, ada sesuatu yang kita bawa, dan
kita bertanggung jawab terhadap yang apa kita bawa itu. Bekerja adalah sebuah media mewujudkan misi suci itu. Maka,
bekerjalah sebagai ibadah dan jalan mengabdikan hidup kita pada-Nya.
Komitmen ini menuntun kita tetap memiliki energi untuk bekerja, bahkan
dalam situasi sangat menekan dan menyakitkan sekalipun.
Komitmen
ini insya Allah menjadi benteng untuk melakukan hal-hal dilarang norma
dan agama, dan institusi pun terselamatkan karena moral menjadi
sandaran dalam lembaga di mana kita bernaung. Kita bersemangat. Jika
pekerjaan tak lagi memberi uang, jabatan, atau apresiasi yang kita
inginkan, setidaknya Allah telah mencatat setiap langkah kita dalam
bekerja. Tuhan tak pernah tidur. Suatu ketika, kita pasti memetik apa
yang kita tanam.
catatan: tulisan ini dipublikasi di www.kompasiana.com pada 20 Oktober 2013 pukul 15.52