“Laut adalah kehidupan kami,” kata Sultan Tidore, Sultan Hussain Syah, ketika bersilaturahmi dengan Tim Culture Trip Gemah Rempa Maha Karya Dji Sam Soe di Istana Sultan Tidore, 9 Desember 2014.
Intonasi suara Sultan ke 37 Tidore yang berperawakan tinggi ini pelan, dengan struktur kalimat teratur dan rapi. Ketenangannya seakan mewakili ketenangan laut yang mengelilingi Kota Tidore. Laut yang begitu tenang, dengan ombak kecil berlarian menuju tepi pantai. Tenang dan syunyi. Kesunyian laut Tidore memancarkan keindahan tersendiri yang memikat.
Kota Tidore berada di Pulau Tidore, Maluku Utara Sebagai sebuah pulau, laut adalah kehidupan mereka. Laut begitu akrab dengan warga Tidore. Laut dan warga Tidore seperti dua sisi mata uang. Mereka saling berhubungan dan salit terikat satu sama lainnya.
Rasa yang melekat itu tercermin dari bagaimana mereka memperlakukan laut. “Laut kami jaga agar bersih dan tidak tercemar lingkungan,” kata Sultan yang didampingi Sekretaris Sultan, Muhammad Amin Al Farifk, dan para menteri kesultanan.
Sebagai kota di pinggir pantai, maka pelabuhan adalah gerbang utama memasuki Tidore. Sebelum menuju Pelabuhan Rum, kita harus memasuki kota Ternate dahulu. Jarak tempuh Jakarta – Ternate sekitar 4 jam menggunakan pesawat udara. Penerbangan dari Jakarta dapat ditempuh langsung dari Jakarta menuju bandara Sultan Baabullah, atau transit terlebih dahulu di Bandara Sultan Hasanuddin (Makassar) dan bandara Manado.
Dari bandara Sultan Babullah, kita menuju Pelabuhan Bastiong. Dari Pelabuhan Bastiong (Ternate) kita menyeberang menuju Pelabuhan Rum (Tidore). Jika menggunakan speedboat kita dikenakan biaya Rp10 ribu per orang dengan jarak tempuh 15 menit, sementara menggunakan kapal feri membayar Rp8000 per orang dengan jarak tempuh sekitar 25 menit.
Keluar dari pelabuhan Rum, kita langsung memasuki kampung Ake Sahu, dan disambut jalanan yang mulus dan lancar. Jalan ini mengelilingi Pulau Tidore, dan bercabang ke berbagai wilayah di dalam kota Tidore. Jalan ini berada persis di tepi pantai/laut yang dipagar talut sedemikian rupa sehingga sangat rapi.
Pemandangan di sepanjang jalan sangat indah. Di seberang pulau, tampak jajaran pulau – pulau dan gunungyang sangat elok seperti Pulau Halmahera, Pulau Maitara, dan Pulau Mare.
Tak hanya mulus, sepanjang jalan ini sangat bersih. Di pinggir jalan berjajaran tanaman hias seperti boygenvile berwarna warni, dengan rimbunan bunga yang sangat indah.
“Kami sudah 7 kali mendapat piala Adipura,” kata Sultan….Hm…pantas aja ya bersih banget.
Agar pulau seluas 48 km² dan laut tetap bersih, Sultan yang baru dilantik 22 Oktober 2014 lalu inimenerapkan konsep Babari (mengajak warga bergotong royong). Konsep ini telatif mudah dilakukan karena pada dasarnya kbersihan sudah menjadi tradisi warga kota. Sebagai penduduk yang menerapkan tarikat sebagai bagian hidup, nuansa religious sangat kental terasa, dan membuat warga kota menjadikan kebersihan sebagai bagian dari iman.
Nuansa religusitas juga terasa ketika ada warga yang meninggal. Jika di tempat lain tahlilal dilakukan selama seminggu, namun di Tidore dilakukan selama setahun. “Dan itu bagi seluruh warga. Tinggal kita yang harus jaga makan, agar tidak terkenal kolestero ha ha ha…,” kata budayawan Tidore, Abdu Kadir Ali.
Konsep Babari juga menjadi salah satu solusi memberantas kemiskinan. Warga bergotong royong membangun rumah untuk warga setempat yang tak memiliki rumah. Satu rumah dibangun hanya dalam waktu tiga hari. Setidaknya sudah. 147 rumah penduduk ayng dibangun secara bergotongroyong.
Oh ya, Pantai di Tidore umumnya berbentuk karang. Walaupun begitu, air lautnya sangat jernih dan biru. Dari pinggir kita dapat melihat ikan berwarna-warni yang berenang baik sendiri-sendiri maupun bergerombol.
Sayangnya, di sini tidak terdapat toko-toko yang menyewakan alat selam atau snorkeling. Untuk itu, lebih baik siapkan sendiri alat snorkeling dan selamnya agar dapat menyanksikan keindahan bawah lautnya.
Khusus Pulau Maitara, secara tak sadar kita sebenarnya kita sudah akrab dengan wajah pulau ini meski belum pernah melihat langsung pulau ini,. Karena pulau ini menjadi gambar utama uang kertas kertas Rp1000.
Situs Sejarah
Kesultanan Tidore adalah salah satu magnet penarik wisatawan ke Pulau Tidore. Kesultanan Tidore dalam sejarah telah tercatat jauh sebelum kemerdekaan RI. Kota ini sudah terkenal sejak zaman penjajahan karena cengkeh dan pala. Bangsa Eropa pertama yang menginjakkan kakinya di Tidore adalah pelaut dari Spanyol yang sampai ke Tidore tahun 1512. Kota ini juga sempat menjadi ibukota provinsi perjuangan Irian Barat.
Istana Sultan Tidore dok/Imogen PR
Gubernur pertamanya adalah Zainal Abidin Syah yang juga Sultan Tidore. Setelah Papua masuk ke wilayah Republik Indonesia, statusnya berubah menjadi ibukota daerah administratif Halmahera tengah dengan ibukota Soa Sio Tidore. Tahun 1990, status daerah administratif berubah menjadi kabupaten Halmahera Tengah.
Pada tahun 2003, Tidore menjadi kota dengan nomenklaturnya Kota Tidore Kepulauan, dengan penjabat wali kota pertama adalah Drs. M. Nur Djauhari dan penjabat wali kota kedua Drs. Mahmud Adrias.
Salah satu tokoh asal Tidore yang terkenal adalah Sultan Nuku yang juga telah diangkat sebagai pahlawan nasional. Nama tokoh ini juga diabadikan sebagai nama kapal perang KRI Nuku, dan Universitas Nuku.
Tak hanya itu, sisa-sisa kejayaan Tiodre hingga saat ini masih diakui dunia. “Tuan Kadis Abdussalam,, cucudari Sjech Yusuf, menyiarkan Islam di Afrika Selatan, dan diakui Presiden Afrika Selatan Nelson Mandela sebagai pahlawan nasional Afrika Selatan.” jelas Sekretaris Sultan, Muhammad Amin Al Farikh. Sementara itu cucu ke Sembilan, yakni Ibrahim, saat ini menjadi Menteri Keuangan Afrika Selatan.
Selain Kesultanan Tidore, situs sejarah yang penting dijumpai diTidore adala Benteng peninggalan kolonial,dan Tugu Pendaratan/Titik Nol bagi pelayaran Ekspedisi Kerajaan Spanyol yang dipimpin Juan Sebastian Elcano (1521). Pelayaran ini kemudian dikenal oleh kalangan sejarawan dengan sebutan Magellan & Elcano Expedition.
Di Tidore terdapat 2 benteng peninggalan bangsa Portugis yaitu Benteng Tohula dan Tore. Benteng tersebut berupa sisa-sisa batu reruntuhan, tapi terlihat jelas bentuk benteng yang luas dan gagah. Pemandangan dari kedua benteng tersebut sangat indah. Dari kedua benteng ini, kita dapat melihat sebagian Pulau Tidore, lautan yang berwarna biru kehijauan, Pulau Halmahera, Pulau Ternate dan Kedaton Kie, tempat Sultan Tidore.
Sementara itu situs
Titik Nol pada Ekspedisi Juan Sebastian Elcano bisa ditemui di dekat
Pelabuhan Rum, sebagai sebuah peninggalan sejarah yang sangat menarik perhatian
masyarakat Internasional, terutama berkaitan dengan ekspedisi penting yang
menjadi objek studi, yang memiliki nilai tinggi bagi wisata mancanegara.
Posisi yang
begitu penting sebagai Titik Nol ditambah lagi berkaitan dengan
aktivitas Juan Sebastian Elcano yang telah mengukir sejarah dengan
eksepedisinya keliling dunia itu menjadi kebanggaan bagi Kerajaan Spanyol,
sehingga mendapat perhatian yang besar oleh Pemerintah Spanyol . Hal itu ditandai
dengan adanya dua kali kunjungan perhatian Dubes Spanyol ke tempat ini.
Air
Panas
Selain situs sejarah, di Tidore terdapat pemandian air panas yang terletak di pinggir pantai dan airnya terasa tawar.yakni air panas Akesahu, Kecamatan Tidore Selatan. Dilatar belakangi dengan Gunung Tidore yang hijau menjulang keangkasa, panorama pemandangan di sekitar pemandian Akesahu ini menjadi sangat indah.
Pemandian Akesahu ini ditempuh menggunakan mobil sekitar 20 menit dari pelabuhan Rum.Tiba di Akisahu kita akan mendapati sebuah pantai berpasir putih yang biasa dikunjungi oleh penduduk setempat maupun wisatawan. N-pohon di sekitar pantai menjadi tempat berteduh yang menyenangkan seraya menikmati panorama yang elok.
Mandi di air panas ini diyakini berkhasiat untuk mengobati gatal-gatal pada kulit dan membuat badan jadi segar. Air panas tersebut diduga mengandung belerang yang biasa digunakan sebagai bahan baku obat penyakit kulit.
Selain air panas,
di pantai ini kita akan menemuan hal unik lainnya. Jika air laut sedang surut,
kita dapat melihat sebuah sumur unik di bibir Pantai Akisahu yang hanya
berjarak sekitar 500 meter dari sumber air panas . Diameter sumur itu terus
bertambah lebar dari tahun ke tahun.
Di kota Tidore yang bercuaca panas menyengat, terdapat sebuah perkampungan sejuk yang disebut warga setempat Negeri di Atas Awan ( kayak lagu Kla Project aja ya….hehehe..).
Hal ini karena kampung ini berada di Gunung api Kie Matubu, Tidore. Letak kampung ini tidak tampak dari kejauhan karena ditutupi jajaran hutan rimba dan pohon-pohon lebat. Di kampung yang sejuk ini banyak terdapat kebun-kebun bunga cantik di sepanjang jalan. Letaknya yang tinggi dan penuh bunga itu menjadikan Gura Bunga laksana surge sehingga disebut Negeri di Atas awan.
Di kiri kanan jalan rumah penduduk nampak bersih dan indah. Rumah tembok biasa sebetulnya, hanya dicat warna-warni. Di setiap rumah selalu ada kebun bunga. Mulai mawar, gladiol, sepatu dan lainnya. Setiap kampung dipisahkan dengan hutan pala dan cengkeh.
Di Gura Bunga juga terdapat rumah adat Tidore, yang bernama Folajikosabari. Rumah adatnya terbentuk dari bambu dan berlantaikan tanah. Jika dilihat dari jauh, rumah ini berbentuk orang bersila. Rumah ini juga kental dengan nuansa Islam. Rumah adat ini memiliki 5 ruangan, sesuai dengan waktu ibadah salat, dan memiliki 2 ikat pada setiap bambunya, yang melambangkan 2 kalimat syahadat.
Gura Bunga berhawa sejuk karena lokasinya berada di ketinggian 800 meter diatas permukaan laut. Rumah-rumah warganya berdiri di kawasan .Selain indah, ragam kehidupan dan latar belakang agama serta budaya setempat menjadikan kampung ini pantas menjadi destinasi wisata.
Di Gura Bunga bisa di saksikan rumah adat milik para sowohi. Di desa ini terdapat enam orang sawohi yang masing-masing tinggal di sebuah rumah adat berusia ratusan tahun yang di sebut dengan rumah puji. Masing-masing sowohi adalah perwakilan dari beberapa marga, yaitu Tosofu, Mahifa, Fola Sowohi, Tosofu Malamo, dan Toduho. Bagi masyarakat setempat para sowohi juga merepresentasikan pemerintahan gelap dimana kesultanan Ternate adalah representasi dari pemerintahan terangnya.
Meski nama keduanya adalah pemerintahan gelap dan terang, satu sama lain tidak saling bertentangan. Justru sebaliknya, para sowohi adalah media yang menghubungkan dunia roh para leluhur dengan pihak kesultanan. Keputusan-keputusan yang diambil oleh kesultanan banyak yang berlandaskan hasil komunikasi para sowohi dengan dengan roh para leluhur. Bahkan, seorang sultan Tidore yang baru akan dilantik oleh para sowohi sebelum upacara pelantikan di lakukan di kesultanannya.
Sweet Culture Trip
Hm....catatan tentang Tidore ini seru juga ya......Tidore adalah bagian dari Culture Trip Gemah Rempah Maha Karya Dji Sam Soe yang kami lakoni selama 3 hari (8-10 Desember 2014). Ini perjalanan yang menyenangkan. Jalan-jalan sembari menimba ilmu.
Suasana hangat dan akrab sangat terasa. Setiap hari penuh tawa ria. Ada sejarahwan JJ Riza dan Bongky Maulana (aktivis Ternate Haritage Sociaety( yang tak segan menurunkan ilmunya pada kita. Ada Beli Arca (Putu Fajar Arcana/redaktur Kompas) yang gak banyak bicara tapi sekali nyeletuk bikin kita ketawa, ada pasangan Bram dan plus (Gelar Nusantara), ada Tim Imogen PR ( Widhi, Theo, Acan cs) yang siap standby, juga Dinda dan Ara (Dji Sam Soe) serta tim Dji Sam Soe di Ternate yang sudah siapkan semua akomodasi dan transportasi kita (thanks ya, semua makanannya enak...). Thanks Theo untuk foto-fotonya yang keren.
Diskusi sembari menikmati lezatnya kuliner Tidore...
pasti, teman2 lain yang sangat rendah hati, ada Feriyanto (Warta Kota), Mbak Venus, Mbak Terry Endropoetro, Mas Motul (blogger keren semua niih..), dan teman2 yang tak dapat saya sebutkan satu persatu. Thank's a lot for all ya.....semoga silaturahmi kita tetap terjalin.....
salam hangat....