Di medio tahun 1990 –an (saya lupa tahun persisnya), saya diundang mengunjungi markas Al Arqam, di Malaysia. Saat itu, organisasi ini sedang mencapai puncak kejayaannya. Keberadaan al Arqam membuat ketar – ketir pemerintah Malaysia yang dipimpin duet. Mahathir Mohammad dan Anwar Ibrahim. Gimana gak bikin ketar – ketir, al Arqam, yang memiliki kerajaan bisnis luar biasa, dan jaringan hingga Uzbekistan, mendapat simpati masyarakat, terutama karena keindahan akhlak mereka. Al Arqam diangap mengancam eksistensi penguasa saat itu.
Banyak cara dilakukan penguasa untuk meredam laju Al Arqam, hingga akhirnya organisasi ini benar – benar tenggelam. Di sela – sela kunjungan itu (kurang lebih seminggu saya berinteraksi dengan mereka secara intensif), saya bertemu dengan seorang Cik Gu (sebutan untuk guru di Malaysia). Saya tak bisa melihat wajahnya karena tertutup purdah. Namun, suaranya terdengar lembut. Ketika kami sedang bercakap – cakap, ia merespon salah satu percakapan dengan kalimat sederhana. “Itulah,,,kita ini sering merasa tak enak dengan manusia, tapi tak pernah terpikirkan untuk tak enak dengan Allah,” katanya lirih.
Deg! Jantung saya serasa berhenti. Entahlah….ada sensasi aneh yang saya rasakan. Kalimat sederhana itu seperti melambungkan saya ke alam lain. Ada geletar luar biasa yang saya rasakan. Saya dicekam keharubiruan yang dahsyat…dan….saya hampir menangis.
Kalimat itu menyadarkan saya pada satu hal : tentang kemerdekaan diri, tentang kedaulatan diri, tentang bagaimana lempang bersikap dengan pikiran jernih dan tanpa takut pada siapapun, serta tentang prasangka buruk yang sering kita bangun terhadap orang lain.
Dan kalimat itu senantiasa terngiang dalam kehidupan saya kemudian, juga ketika kita memperingati hari kemerdekaan saat ini. Dalam banyak hal saya menemukan kebenaran ucapan Cik Gu itu. Kalimat itu menyiratkan betapa sering kita tak mampu bersikap proporsional dan terjebak sekat – sekat psikologi yang tak perlu. Sekat yang menghalangi kita untuk berbuat benar dan tepat.
“Tak enak dengan sesama manusia, tanpa memikirkan tak enak dengan Tuhan” seakan mengesankan betapa kita tanpa sadar sering memarginalkan eksistensi Tuhan ketika berhadapan dengan sesame manusia hanya. Rasa ‘tak enak” membuat kita seperti mati langkah, dan akhirnya tak mampu berbuat banyak. Kita menjadi sangat – sangat tidak merdeka. Kita terjebak oleh subyektifitas kita sendiri, padahal belum tentu orang lain berpikiran seperti yang ada dalam frame pemikiran kita.
Dalam banyak kasus, tak jarang orang enggan berbuat baik karena merasa tak enak dan takut dicap riya, tidak ikhlas, dan takut disebut meminta pujian. Padahal sebetulnya hal itu tak perlu. Jika kita yakin tindakan kita benar, seharusnya lakukan saja, tak peduli apapun pandangan orang. Sebab, yang tahu riya dan ikhlas itu bukan orang lain, melainkan antara kita dan Tuhan.
Beribu kali kita menegaskan pada semua orang bahwa kita ikhlas berbuat, namun kita sendiri dan Tuhan yang tahu bila kita sesungguhnya riya dan ingin dipuji. Sebaliknya, beribu kali orang menuduh kita riya dan tidak ikhlas, tapi ssungguhnya hanya Allah dan kita yang tahu bahwa hati kita tulus dan riya.
Rasa tak enak yang tidak proporsional akhirnya membuat sebagian dari kita mati langkah. Kalaupun hasrat untuk berbuat baik tetap menggelora, itu dilakukan diam – diam. Memang, berbuat baik tak perlu diketahui orang lain. Ketika tangan kanan mmberi, tangan kiri tak perlu tahu. Demikian agama mengajarkan kita. Hal itu benar dalam konteks ketulusan.
Namun, dalam konteks peraihan tujuan yang lebih luas, perbuatan baik memang harus disebarluaskan. Perbuatan baik yang dilakukan seseorang diharapkan memberi efek domino dan memotivasi pihak lain untuk melakukan hal yang sama sehingga kebaikan dilakukan dimana-mana. Dan media massa menjadi salah satu alat efektif dalam menyampaikanya.
Namun, hal – hal seperti itu cenderung terhenti dan tidak dilakukan hanya karena kita merasa tak enak. Rasa tak enak juga sering membuat kita berprasangka pada orang lain. Contoh sederhana, kita ingin mengunjungi sahabat yang memiliki sebuah kedudukan penting, sementara kita sendiri hanyalah orang biasa dan cenderung miskin pula. Tiba – tiba kita membatalkan keinginan itu dengan alasan “gak enak akh..dia kan pejabat, gue cuma orang biasa….gak enak akh..ntar dikirain kita mau minta uang lagi”…..”.
Dalam sebuah pesta, seorang teman akhirnya tidak salat. “Gak enak akh ninggalin pesta, ntar gue dikirain sok alim lagi”. Keinginan menelepon, mengirim SMS atau BBM juga dibatalkan karena “gak enak akh…ntar gue ganggu lagi. Kan dia itu direktur, super sibuk….”. Dalam sebuah rapat, bawahan memilih diam, takut pandangannya yang berbeda dengan atasan menyinggung perasaan atasan dan berakibat buruk pada dirinya. Dalam sebuah system, kita lebih memilih membiarkan teman kita, atasan kita, serta tak berani memberi teguran atau nasehat hanya karena rasa tak enak dan menyinggung. Dan akhirnya, kita membiarkan mereka terjebak dalam berbagai kesalahan bahkan kejahatan.
Oh my God, semua niat dan perbuatan baik terhenti, dan silaturahmi pun merenggang karena komunikasi tak lancar lantaran rasa tak enak. Padahal, orang lain belum tentu berpikiran demikian. Dengan sikap itu, kita bukan hanya asyik dengan persepsi dan subyektifitas kita sendiri, juga tanpa sadar berprasangka buruk pada lain. Pada kasus – kasus tertentu, rasa tak enak itu membuat kita berkontribusi atas kejahatan yang dilakukan orang lain. Kita melakukan pembiaran…….
***”
Beranjak dari sini, semestinya hal – hal seperti ini harus dibenahi, bahkan bila perlu dihentikan. Tak mudah memang. Apalagi bila hal itu telah mentradisi. Bahkan, atas nama etika dan keluhuran, perilaku “tak enak” menjadi sesuatu yang harus. Tapi, tentu saja kita tak bias terus menerus membiarkan hal ini tumbuh bila kita yakin hal tersebut justru kontraproduktif terhadap berbagai hal positif.
Membenahi hal itu memang tak mudah, karena ini menyangkut hati, jiwa, dan diri sendiri. Bagian tersulit dalam hidup kita ini salah satunya adalah menguasai, berdaulat atas diri sendiri, menguasai/berdaulat atas jiwa dan nurani sendiri. “Rasa tak enak, ewuh pakewuh” adalah salah satu factor signifikan pendukungnya. Rasa tak enak dan ewuh pakewuh memang harus ada karena itu bagian dari ujud toleransi dan budi pkerti, namun pengimplementasiannya harus dilakukan secara proporsional.
Salah satu cara untuk membenahinya adalah memperbaiki mentalitas kita, khususnya mental religius. Senantiasa membangun prasangka baik pada orang lain, dan melepaskan kepentingan apapun kecuali untuk tujuan kebaikan itu sendiri. Salah satu cara efektif melawan ketakutan, khususnya pandangan orang lain atas tindakan kita, adalah bersikap rasional, dan menempatkan Tuhan di atas segala tindakan kita. Dalam bahasa agama, semua perbuatan itu kita lakukan hanya semata karena Allah.
Jika memang lilahita’ala, mengapa takut harus berbuat baik?. Jika lilahi’ta’ala, tak perlu takut dinilai riya. Biarkan saja orang mengatakan kita riya, jika memang kita tidak riya sebab riya itu adalah antara kita dan Tuhan. Dalam urusan antara kita dan Tuhan, hubungan intim dan vertical, serta perilaku transedental religious itu, tak perlu takut pada pandangan sinis dan sarkatis orang lain pada kita. Sebab, hubungan itu hanya milik kita dan Tuhan.
Di sisi lain, watak “lilahita’ala” akan membimbing kita pada perilaku yang baik. Coba, mana ada orang yang lilahita’ala mencuri, merampok, memfitnah, berzinah, koprusi, de el el….kan?
Jika kita mampu melepaskan belenggu dan pandangan luar yang tidak proporsional , maka kita akan menjadi diri yang merdeka. Kita merdeka karena kita berdaulat pada jiwa dan nurani sendiri. Jika kita yakin tindakan kita benar, melangkahlah dengan pasti. Tapi tentu saja, benar itu harus dengan ukuran – ukuran atau parameter yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan subyektifitas kita sendiri. Ukuran signifikan itu adalah ukuran agama, dan norma – norma yang berlaku. Kebenaran yang bersumber dari subyektifitas kita sendiri cenderung membuat kita abai pada orang lain, arogan, dan merasa lebih hebat dari yang lain.
So….mari kita lebih tak enak dengan Tuhan ketimbang tak enak dengan manusia. Percayalah, ketika kita memuliakan Tuhan, maka Tuhan akan memuliakan kita di mata para hamba – hambaNya.
Salam…
Jakarta, 17 agustus 2003