Senin, 19 Agustus 2013

Berdaulat Atas Jiwa dan Diri Sendiri

Di medio tahun 1990 –an (saya lupa tahun persisnya), saya diundang mengunjungi markas Al Arqam, di Malaysia. Saat itu, organisasi ini sedang mencapai puncak kejayaannya. Keberadaan al Arqam membuat ketar – ketir pemerintah Malaysia yang dipimpin duet. Mahathir Mohammad dan Anwar Ibrahim. Gimana gak bikin ketar – ketir, al Arqam, yang memiliki kerajaan bisnis luar biasa, dan jaringan hingga Uzbekistan, mendapat simpati masyarakat, terutama karena keindahan akhlak mereka. Al Arqam diangap mengancam eksistensi penguasa saat itu. 

Banyak cara dilakukan penguasa untuk meredam laju Al Arqam, hingga akhirnya organisasi ini benar – benar tenggelam. Di sela – sela kunjungan itu (kurang lebih seminggu saya berinteraksi dengan mereka secara intensif), saya bertemu dengan seorang Cik Gu (sebutan untuk guru di Malaysia). Saya tak bisa  melihat wajahnya karena tertutup purdah. Namun, suaranya terdengar lembut. Ketika kami sedang bercakap – cakap, ia merespon salah satu percakapan dengan kalimat sederhana. “Itulah,,,kita ini sering merasa tak enak dengan manusia, tapi tak pernah terpikirkan untuk tak enak dengan Allah,” katanya lirih.
Deg! Jantung saya serasa berhenti. Entahlah….ada sensasi  aneh yang saya rasakan. Kalimat sederhana itu seperti melambungkan saya ke alam lain.  Ada geletar luar biasa yang saya rasakan. Saya dicekam keharubiruan yang dahsyat…dan….saya hampir menangis.

Kalimat itu menyadarkan saya pada satu hal : tentang kemerdekaan diri, tentang kedaulatan diri, tentang bagaimana lempang bersikap dengan pikiran jernih dan tanpa takut pada siapapun, serta tentang prasangka buruk yang sering kita bangun terhadap orang lain.
Dan kalimat itu senantiasa terngiang dalam kehidupan saya kemudian, juga   ketika kita memperingati hari kemerdekaan saat ini. Dalam banyak hal saya menemukan kebenaran ucapan Cik Gu itu. Kalimat itu menyiratkan betapa sering kita tak mampu bersikap proporsional dan terjebak sekat – sekat psikologi yang tak perlu. Sekat yang menghalangi kita untuk berbuat benar dan tepat.

“Tak enak dengan sesama manusia, tanpa memikirkan tak enak dengan Tuhan” seakan mengesankan betapa kita  tanpa sadar sering memarginalkan eksistensi Tuhan ketika berhadapan dengan sesame manusia hanya. Rasa ‘tak enak” membuat kita seperti mati langkah, dan akhirnya tak mampu berbuat banyak. Kita menjadi sangat – sangat tidak merdeka. Kita terjebak oleh subyektifitas kita sendiri, padahal belum tentu orang lain berpikiran seperti yang ada dalam frame pemikiran kita.

Dalam banyak kasus, tak jarang orang enggan berbuat baik karena merasa tak enak dan takut dicap riya, tidak ikhlas, dan takut disebut meminta pujian. Padahal sebetulnya hal itu tak perlu. Jika kita yakin tindakan kita benar, seharusnya lakukan saja, tak peduli apapun pandangan orang. Sebab, yang tahu riya dan ikhlas itu bukan orang lain, melainkan antara kita dan Tuhan. 

Beribu kali kita menegaskan pada semua orang bahwa kita ikhlas berbuat, namun kita sendiri dan Tuhan yang tahu bila kita sesungguhnya riya dan ingin dipuji.  Sebaliknya, beribu kali orang menuduh kita riya dan tidak ikhlas, tapi ssungguhnya hanya Allah dan kita yang tahu bahwa hati kita tulus dan riya.
Rasa tak enak yang tidak proporsional akhirnya membuat sebagian dari kita mati langkah. Kalaupun hasrat untuk berbuat baik tetap menggelora, itu dilakukan diam – diam. Memang, berbuat baik tak perlu diketahui orang lain. Ketika tangan kanan mmberi, tangan kiri tak perlu tahu. Demikian agama mengajarkan kita. Hal itu benar dalam konteks ketulusan.

Namun, dalam konteks peraihan tujuan yang lebih luas,  perbuatan baik memang harus disebarluaskan. Perbuatan baik yang dilakukan seseorang diharapkan memberi efek domino dan memotivasi pihak lain untuk melakukan hal yang sama sehingga kebaikan dilakukan dimana-mana. Dan media massa menjadi salah satu alat efektif dalam menyampaikanya.
Namun, hal – hal seperti itu cenderung terhenti dan tidak dilakukan hanya karena kita merasa tak enak. Rasa tak enak juga sering membuat kita berprasangka pada orang lain. Contoh sederhana, kita ingin mengunjungi sahabat yang memiliki sebuah kedudukan penting, sementara kita sendiri hanyalah orang biasa dan cenderung miskin pula. Tiba – tiba kita membatalkan keinginan itu dengan alasan “gak enak akh..dia kan pejabat, gue cuma orang biasa….gak enak akh..ntar dikirain kita mau minta uang lagi”…..”. 

Dalam sebuah pesta, seorang teman akhirnya tidak salat. “Gak enak akh ninggalin pesta, ntar gue dikirain sok alim lagi”. Keinginan menelepon, mengirim SMS atau BBM juga dibatalkan karena “gak enak  akh…ntar gue ganggu lagi. Kan dia itu direktur, super sibuk….”. Dalam sebuah rapat, bawahan memilih diam, takut pandangannya yang berbeda dengan atasan menyinggung perasaan atasan dan  berakibat buruk pada dirinya. Dalam sebuah system, kita lebih memilih membiarkan teman kita, atasan kita, serta tak berani memberi teguran atau nasehat hanya karena rasa tak enak dan menyinggung. Dan akhirnya, kita membiarkan mereka terjebak dalam berbagai kesalahan bahkan kejahatan.  

Oh my God, semua niat dan perbuatan baik terhenti, dan silaturahmi pun merenggang karena komunikasi tak lancar lantaran rasa tak enak.  Padahal, orang lain belum tentu berpikiran demikian. Dengan sikap itu, kita bukan hanya asyik dengan persepsi dan subyektifitas kita sendiri, juga tanpa sadar berprasangka buruk pada lain. Pada kasus – kasus tertentu, rasa tak enak itu membuat kita berkontribusi atas kejahatan yang dilakukan orang lain. Kita melakukan pembiaran…….
                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                                           ***”
Beranjak dari sini, semestinya hal – hal seperti ini harus dibenahi, bahkan bila perlu dihentikan. Tak mudah memang. Apalagi bila hal itu telah mentradisi. Bahkan, atas nama etika dan keluhuran, perilaku “tak enak” menjadi sesuatu yang harus. Tapi, tentu saja kita tak bias terus menerus membiarkan hal ini tumbuh bila kita yakin hal tersebut justru kontraproduktif terhadap berbagai hal positif.
Membenahi hal itu memang tak mudah, karena ini menyangkut hati, jiwa, dan diri sendiri. Bagian tersulit dalam hidup kita ini salah satunya adalah menguasai, berdaulat atas  diri sendiri, menguasai/berdaulat atas  jiwa dan nurani sendiri. “Rasa tak enak, ewuh pakewuh” adalah salah satu factor signifikan pendukungnya. Rasa tak enak dan ewuh pakewuh memang harus ada karena itu bagian dari ujud toleransi dan budi pkerti, namun pengimplementasiannya  harus dilakukan secara proporsional. 

Salah satu cara untuk membenahinya adalah memperbaiki mentalitas kita, khususnya mental religius. Senantiasa membangun prasangka baik pada orang lain, dan melepaskan kepentingan apapun kecuali untuk tujuan kebaikan itu sendiri. Salah satu cara efektif melawan ketakutan, khususnya pandangan orang lain atas tindakan kita, adalah bersikap rasional, dan menempatkan Tuhan di atas segala tindakan kita. Dalam bahasa agama, semua perbuatan itu kita lakukan hanya semata karena Allah.
Jika memang lilahita’ala, mengapa takut harus berbuat baik?. Jika lilahi’ta’ala, tak perlu takut dinilai riya. Biarkan saja orang mengatakan kita riya, jika memang kita tidak riya sebab riya itu adalah antara kita dan Tuhan. Dalam urusan antara kita dan Tuhan, hubungan intim dan vertical, serta perilaku transedental religious itu, tak perlu takut pada pandangan sinis dan sarkatis orang lain pada kita. Sebab, hubungan itu  hanya milik kita dan Tuhan.

Di sisi lain, watak “lilahita’ala” akan membimbing kita pada perilaku yang baik. Coba, mana ada orang yang lilahita’ala mencuri, merampok, memfitnah, berzinah, koprusi, de el el….kan?
 Jika kita mampu melepaskan belenggu dan pandangan luar yang tidak proporsional , maka kita akan menjadi diri yang merdeka. Kita merdeka karena kita berdaulat pada jiwa dan nurani sendiri. Jika kita yakin tindakan kita benar, melangkahlah dengan pasti. Tapi tentu saja, benar itu harus dengan ukuran – ukuran atau parameter yang dapat dipertanggungjawabkan, bukan subyektifitas kita sendiri. Ukuran signifikan itu adalah ukuran agama, dan norma – norma yang berlaku. Kebenaran yang bersumber dari subyektifitas kita sendiri cenderung membuat kita abai pada orang lain, arogan, dan merasa lebih hebat dari yang lain.
So….mari kita lebih tak enak dengan Tuhan ketimbang tak enak dengan manusia. Percayalah, ketika kita memuliakan Tuhan, maka Tuhan akan memuliakan kita di mata para hamba – hambaNya.

Salam…
Jakarta, 17 agustus 2003

Menata Jakarta tak Cukup dengan Nyali Besar saja

Berbagai pemberitaan tentang gebrakan Pemprov DKI/ Ahok (untuk selanjutnya saya sebut Ahok saja ya..) dalam menata PKL, khususnya di kawasan Tanah Abang, Jakarta Pusat, menunjukkan bahwa upaya tersebut bukanlah hal yang mudah dilakukan. Di tengah semrawutnya penataan PKL, sebagai salah satu sumber persoalan kemacetan di DKI, serta eksistensi kawasan Tanah Abang yang ditengarai “dikuasai nama – nama besar dan sulit tersentuh hukum”, sikap pemprov Ahok memang menunjukkan nyali besar. Namun, menata Jakarta, termasuk kemacetan di DKI, tak cukup dengan nyali besar saja. 

Ada banyak komponen pendukung yang dibutuhkan antara lain dana yang fantastik, kemauan politik keras, mental tega yang tegar, gerakan lintas sektoral terpadu dan serentak (yang harus dirumuskan secara tersistem, terstruktur, dan komprehensif), dan dukungan luar biasa dari seluruh elemen masyarakat. Selain karena manajemen di berbagai sektor sudah telanjur kacau (termasuk mentalitas), juga bakal menimbulkan korban rakyat yang banyak. 

Penataan PKL yang dilakukan Ahok juga tak bisa dilakukan dalam ranah penegakan hukum yang represif saja, namun menyertakan sisi – sisi lain sebab PKL bukanlah sebuah persoalan yang berdiri sendiri. PKL adalah produk dari kebijakan yang tidak komprehensif, parsial, dan cenderung menguntungkan pihak tertentu saja. 

Sebab itu, Ahok butuh dukungan, pertama, suprastruktur yang konsisten. Dalam hal ini, Pemprov DKI (seluruh elemen) harus total medukung Ahok, apalagi landasan hukumnya cukup kuat (perda yang sudah disahkan). Kedua, dukungan politik. Dalam hal ini, dukungan DPRD DKI sangat berperan karena perda tersebut merupakan produk politik DPRD dan Pemorv DKI. Ketiga, dukungan lintas instansi/departemen dan lintas stakeholder. 

Dukungan ini dibutuhkan sebab gebrakan Pemprov DKI/ Ahok di satu sisi bukan tidak mungkin menimbulkan resistensi dan dimanfaatkan kelompok tertentu untuk meraih keuntungan, juga di sisi lain agar PKL tidak menjadi korban kebijakan yang berujung menyengsarakan mereka. Kesalahan PKL bukanlah berarti mereka layak “dibunuh”. Dalam konteks politik, apalagi dengan suhu politik yang mulai memanas sekarang, gebrakan ini dan keberadaan PKL akan dimanfaatkan dan dieksploitasi oleh sekelompok orang untuk menaikkan citra mereka. 

Dalam konteks PKL, penataan mereka tak boleh membuat PKL tersebut mati. Sebab itu harus dilakukan upaya agar periuk nasi mereka tidak terancam. Pemprov DKI dan instansi terkait harus melakukan langkah – langkah yang tidak memberatkan PKL dan tidak membunuh kehidupan mereka. Keinginan PKL juga harus diakomodasi secara bijak sehingga terjadi win- win solution antara kedua belah pihak, misalnya melakukan relokasi yang tidak memberatkan dan memberi peluang agar akses berdagang mereka menjadi luas dan mudah didatangi masyarakat. 

Penataan PKL sangat penting bukan hanya bentuk konsistensi atas penegakan perda, juga mengembalikan hak masyarakat atas jalur yang mereka gunakan (pedestrian), menertibkan dan memberi kenyaman Jakarta, serta menegakkan wibawa pemerintah. Dll. Persoalan Kecil Sejumlah pihak mengatakan penertiban PKL Tanah Abang bertujuan untuk mengurai kemacetan di Jakarta. Secara umum, hal ini benar, Namun, hal ini mungkin hanyalah salah satu upaya untuk mengatasi dan mengurai kemacetan di Jakarta. 

Namun upaya ini sangat kecil dan sangat tidak signifikan sama sekali dengan kemacetan DKI selama ini. Bila Pemprov DKI serius ingin mengatasi kemacetan di DKI, maka mereka harus melakukan terobosan yang strategis dan mengembalikan tata ruang sesuai peruntukkan yang ada. Misalnya, segera memperbaiki semua trotoar di Jakarta, membangun jembatan penyeberangan di lokasi yang sesuai dengan kebutuhan warga Jakarta, serta membuang pulau jalan dan taman yang tidak bermanfaat dan memakan badan jalan. 

Selain itu, membangun segera system drainase dan ruang bawah tana untuk hal terkait seperti PDAM, listrik, gas, telepon, dll) sehingga tidak perlu menggali sepanjang masa. Ruang tersebut juga bisa disewakan Pemprov DKI untuk menambah PAD. Pemrov juga harus menertibkan metro mini dan sejenisnya termasuk Koantas Bima, mikrolet, bajay dll dengan menyiapkan kendaraan yang lebih manusiawi sehingga sarana transportasi tersebut pantas beroperasi di ibukota metropolitan ini. Pempriv juga harus melakukan revitalisasi Dinas Perhubungan dan Organda, membatasi kuota kendaraan yang ada di DKI dengan pembatasan tahun dan kepemilikan, memasang CCTV di seluruh jaland I DKI sekaligus untuk system tilang bagi pelanggar. 

Yang tak kalah penting, keberadaan jalur busway harus dievaluasi dan ditinjau kembali karena secara factual, jalur busway justru menjadi salah satu biang kemacetan dan pelanggaran. Tentu masih banyak yang harus dilakukan. Namun, intinya, menata DKI tak hanya butuh nyali besar, juga dukungan extra ordinary semua pihak. 

Menata macet tak bisa parsial. Semuanya harus bergerak serentak sesuai porsi masing-masing dan dilakukan dalam rumusan yang tepat. Dishub harus mengganti rambu2 yang tak layak dan tak sesuai dengan jumlah kendaraan, serta menata kendaraan, rute, dan mental sopir yang tak layak. Polri melaksanakan gerakan hukum dan pembinaan masyarakat secara konsisten, serta tidak hanya berpikir profit oriented atau kepentingan pragmatis dan sempit semata, 

Bina Marga/PU menyiapkan infrastruktur yang memadai dan sesuai kebutuhan perkembangan misalnya membangun monorel yang banyak, dan negara menyediakan dana besar. Negara juga harus mengedukasi masyarakat untuk mampu menghargai komitmen berlalu lintas dengan baik dan hal – hal yang potensial menimbulkan kemacetan seperti PKL tersebut. 

Dan Itu harus dirumuskan dalam tahun anggaran yang sama dengan membuang jauh - jauh ego sektoral. Selama hal ini tidak dilakukan, selama itu pula berbagai persoalan di DKI tidak akan terurai, dan bukan tidak mungkin akan menjadi bom waktu dengan daya ledak luar biasa dan social cost yang juga luar biasa. 

Saat ini saja letupan – letupan kecil sudah terlihat. Sebagai contoh, sikap seorang ibu yang nekad memasuki jalur busway dan melawan petugas. Kasus ini sempat diresponi Ahok secara ekstrim. Belum lagi emosi dan stress warga yang tinggi lantaran kondisi macet yang makin esktrim. Warga bahkan tak mampu meprediksi kapan mereka bisa memanage waktu untuk keluar agar tidak terjebak macet di luar jam – jam rutin macet. 

Letupan – letupan kecil lainnya benar – benarakan meledak dan menjadi persoalan krusial jika tidak segera disikapi secara bijak, apalagi bila diresponi pihak terkait secara kontraproduktif. Hal itu tentu bukan yang kita inginkan.

Politik Vagina

TUBUH saya berdesir seperti ada semilir angin yang terhimpun menjadi topan dan menghantam saya. Tapi, saya tidak terhuyung, meskipun limbung. Ini luar biasa. Tiba-tiba saja wajah perempuan yang ada dalam berita itu--yang diperkosa oleh ayah tirinya hingga melahirkan anak--terbayang jelas. Juga, bagaimana ia merintih, yang mengingatkan saya kepada salah satu novel Nh Dini.

Saya dengar lirih suaranya, tak berani menolak ajakan ayah tirinya, tetapi tidak mau meladeninya. Ia takut. Ia gelisah. Ah, wajahnya, seperti wajah ribuan perempuan Bosnia yang diperkosa di arena peperangan Bosnia, yang diwawancarai Evi Ensler dan disusun menjadi buku, Vagina Monologues. Tahun 2001, sebuah esai Katha Pollitt, seorang feminism, berjudul "The Vaginal Politics" terbit di The Nations Edisi 15 Februari 2001.

Esai itu sebuah penegasan atas fenomena opera "The Vagina Monologues" yang dipentaskan di Madison Square Garden, dan beberapa kota besar dunia lainnya dalam rangka Hari Wanita Internasional.  Di Indonesia pementasan ini diprakarsai Nurul Arifin dan rekan-rekan aktivis feminismenya dari Koalisi Perempuan Indonesia. Bagi Pollit, pementasan itu sebuah fakta atas kematian feminisme. "The Vagina Monologues, in fact" tulis Pollitt, "¯was singled out in Time's 1998 cover story "Is Feminism Dead?as proof that the movement had degenerated into self-indulgent sex chat "The Vagina  Monologues diangkat dari buku hasil penelitian selama bertahun-tahun yang dilakukan Eva Ensler. 

 Ensler sendiri menulisnya berdasarkan hasil wawancara setelah mengumpulkan fakta tentang pemerkosaan ribuan perempuan di meda peperangan Bosnia-Herzigovina. Inilah medan peperangan yang ingin diubah sebagai "penjagalan salah satu rasa manusia di atas bumi", karena setiap perempuan Bosnia diperkosa agar hamil sehingga lahir keturunan blasteran. Sementara para laki-laki dibantai dan dikubur dalam satu liang tanpa upacara kematian dan tanpa doa apapun. Judul buku Ensler itu mengandung magis kata yang sangat feminisme.


Sebuah kata tabu dalam pembicaraan formal, terutama bagi tata nilai masyarakat timur. Tapi, judul itu sendiri sudah berkomentar, membawa maknanya yang jamak. Sebuah diksi yang kaya. Yang menegaskan, buku ini akan menjadi sebuah karya yang laris, yang laku. Sebab, persoalan yang dibahasnya menjadi sangat universal. Ensler adalah seorang artis berdarah India. Ia membaca dan mendengar soal pembantaian ras manusia di Bosnia dengan cara memerkosa para perempuan, dan ia sangat terpukul. Lalu, tiba-tiba terpikir olehnya, bahwa pokok persoalan di Bosnia adalah adalah "raga" pada setiap perempuan, yakni vagina. Dari sanalah penulisan itu berangkat. 



Dan Ensler berangkat ke berbagai negeri, yang terpokok soal perang Bosnia-nya sendiri, dan memperluas daerah wawasan penyelidikannya. Lebih 200 wanita dengan usia, profesi, jenis bangsa, yang terpokok di kalangan wanita Bosnia sendiri, diwawancarainya. Selain itu diwawancarainya wanita dari berbagai kalangan di Eropa, Amerika, Asia, dan Afrika, dengan tema yang sama mengenai pelecehan, perkosaan, dan penindasan terhadap wanita. 



Dari hasil wawancara dan berbagai riset dan penyelidikannya inilah, ditulisnya buku berjudul Vagina Monologues. Dan, ternyata, buku itu mendapat sambutan meriah di seluruh dunia. Apa yang paling menarik dari isi cerita buku itu? Dari begitu banyak riset dan penyelidikan serta wawancara terhadap wanita, termasuk yang kena perkosaan pada perang Bosnia itu, dia merangkum apa sebenarnya hakekat "raga" yang "dibantai" oleh pemerkosa yang samasekali tak berhati manusia itu. Dalam dialog antara "raga" (pengganti istilah vagina), terbentuklah dan lahirlah dialog dari berbagai situasi tentang "raga" itu. 



Bahwa, raga ini janganlah hanya dilihat dari satu segi saja. Bukankah semua kita, termasuk yang sedang membaca tulisan ini, lahir dan keluar dari raga itu? Jadi, ketahuilah, raga itu mengandung suatu kesucian, kesakralan, dan sudah seharusnya ditempatkan pada posisi yang atas, tinggi, berharga sangat. Diceritakan juga dalam dialog antara "raga" itu, terdengar jeritan keperihan, ketertindasan, kekerasan, kebiadaban, dan tangis yang mengiris-ngiris perih! 



Tetapi juga terdengar lahirnya bayi yang bersih dari dosa, tiba dan hadir ke dunia ini, atas buah cinta kasih antara mama dan papa si bayi itu, penuh kemesraan. Apakah perlakuan diri manusia lupa akan semua itu? Ketahuilah "raga" yang "kalian" perkosa itu, dari situlah kalian lahir dan menjadi “kalian” yang kini ini! 


Di Indonesia, apa yang dipentaskan Nurul Arifin bersama rekan-rekan sesama aktivis feminisme, tak banyak yang melihat opera ini seperti Pollitt membuat sebuah simpul. Tapi, sejak itu, satu hal yang bisa ditangkap adalah kaum perempuan mulai meletakkan gerakan de-feminisme di Indonesia. Sebuah gerakan "politik vagina" sebagai wujud kemuakan terhadap feminisme.  

Perempuan Indonesia tidak percaya lagi gerakan kesetaraan gender yang telah berlangsung cukup lama di Tanah Air akan mampu mewujudkan emansipasi antara perempuan dengan laki-laki. Karena komitmen sosial para aktor pemerintahan dan elite politik untuk mewujudkan tatanan sosial-politik yang adil dan demokratis di mana gerakan kesetaraan gender inheren di dalamnya, tidak pernah bergeser dari nilai-nilai warisan leluhur budaya Timur yang lebih memberi peran kepada laki-laki sebagai "kepala rumah tangga". 

Makanya, daripada mengharapkan feminisme--yang dalam banyak hal membentur sekat-sekat sosio-kultural di lingkungan masyarakat--sebagai gerakan sosial memperjuangkan hak dan keadilan bagi kaum perempuan, perempuan sastrawan lebih memilih "membunuh" gerakan itu sebagai wujud pemberontakan atas nilai-nilai yang berlaku secara turun-temurun, lewat gerakan "politik vagina".

"Politik vagina" merupakan gerakan untuk mempersoalkan seks bukan semata sebagai persoalan seksualitas, karena seks bukan dunianya kaum laki-laki. Hal ini diwujudkan lewat citra perempuan sebagai sosok-sosok yang begitu kuat, gelisah, mandiri, radikal, memberontak, dan tak terlalu pusing dengan nilai-nilai kewanitaannya. 

Mereka tidak merasa risih bicara soal seks dengan siapa saja, bahkan dengan laki-laki yang baru ditemui di sebuah terminal dan belum dikenal secara akrab. Karena seks tidak ada sangkut-pautnya dengan moralitas, melainkan soal orgasme. 


Di dalam dunia kesusastraan kita, akar gerakan "politik vagina" ini, sebetulnya, sudah ditemukan dalam puisi-puisi Dorothea Rosa Herliany, terutama dalam antologinya, "Kill The Radio". Tapi, gerakan ini baru menemukan eksistensinya dalam diri Ayu Utami, ketika ia menghasilkan novel "Saman".  

Belakangan, karya-karya perempuan sastrawan lainnya bermunculan, sebut saja Clara Ng, Fira Basuki, Herlinatien, Oka Rusmini, Djenar Mahesa Ayu, Dewi Lestari, dan sebagainya. Bagi Apsanti Djokosujatno, Ayu Utami dianggap sebagai pelopor penulisan novel seks, dan harus disebut dalam setiap pembicaraan tentang seks dalam sastra. 

Ia bukan hanya wanita pertama yang berani berbicara secara blakblakan tentang seks dalam romannya yang radikal, pada saat banyak orang masih sungkan berbicara tentang seks, tetapi juga pengarang pertama yang menulis novel yang mengungkap seks dengan berbagai permasalahannya (menyangkut wanita pula) secara terbuka. 

Tapi, meskipun demikian, agama punya aturan main sendiri soal emansipasi. Persoalannya, manusia, tidak pernah sanggup menganggap nilai-nilai dan ajaran agama itu sebagai fakta yang sebenarnya. Sebab, agama selalu diposisikan sebagai hal irrasional, padahal agama mencakupo segala hal rasional, irrasional, dan spritual di dalamnya. Semoga para perempuan Indonesia tidak salah memilih jalan.Bandar Lampung, November 2003

Hamba Allah

Saya masih terkenang betapa termangunya saya--beberapa tahun lalu-- seusai mendengar nasehat Abah saya. "Banyak manusia yang mengaku-ngaku dirinya hamba Allah, padahal belum tentu Allah mengakuinya sebagai hamba," kata Abah. 

Lama saya merenung hingga akhirnya memahami maksud Abah. Saya melihat ada korelasi kuat antara "hamba" dan Allah", sehingga ia disebut hamba Allah. Ukurannya, tentulah perilaku terkait penghambaan kepada Allah. Kalimat Abah itu mengusik saya lagi ketika akhir-akhir ini banyak orang yang begitu gencar dan mudah menyebut dirinya dengan sebutan "seorang hamba Allah". Saya "terusik", sebab "pengakuan" gamblang itu tak sesuai dengan standar "kehambaan" yang dipersyaratkan Allah. 

Pengakuan diri sebagai hamba Allah itu sangat subjektif, semena-mena, dan semata mencari keuntungan pribadi. Dalam terminologi bahasa Indonesia, khususnya versi Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) edisi ke Tiga terbitan Depdiknas hamba berarti abdi, budak belian. Jika digunakan untuk menggantikan kata ganti "saya", hamba bermakna merendahkan diri. 

Jika digunakan dalam konteks hubungan dengan Tuhan, dan populer dengan sebutan "hamba Allah" dia bermakna sebagai makhluk yang sadar dan harus selalu takwa. Dalam konteks hukum, dia bermakna petugas hukum. 

Dalam konteks nafsu, dia bermakna orang yang suka memperturutkan hawa nafsunya. Terminologi ini menyiratkan adanya hubungan client-patron yang sangat subordinatif. Di sini, sesuatu bernama dedikasi, kerja keras, dan pengorbanan telah menjadi sangat inherent dan involved dalam diri pihak yang disubordinasi. 

Dalam bahasa agama: istikamah, takwa tanpa reserve. Apakah terjemahan ini berasosiasi bahwa yang mengsubordinasi begitu kejam, keji, dan gila hormat? Tentu bukan. Sebab, ada imbalan pantas untuk sebuah pengorbanan. Maka, predikat hamba yang diberikan Allah kepada seorang manusia sesungguhnya adalah penghargaan yang setara dengan nilai signifikansi pengorbanan yang dilakukan hamba kepada Allah. 

Pengakuan itu berbanding lulus dengan kualitas kehambaan seseorang. Idealnya, segala yang ia lakukan dalam rangka, demi, dan hanya karena Allah. Komitmen semacam ini tentu saja tidak oral verbal, melainkan perilaku nyata. 

Beragama bukanlah semata pengakuan, tetapi impelentasi. Komitmen inilah yang menjadi spirit sekaligus kontrol ketika bersikap dan berlaku. Artinya, seorang hamba Allah, pasti tidak melakukan hal-hal yang dalam pandangan Allah salah misalnya mencuri, menipu, memfitnah, berzinah, menzalimi orang lain, atau apa saja yang dalam standar agama tidak benar. 

Sekali lagi, ia menjalankan segala yang diperintahkan dan menjauhi yang dilarang tanpa reserve. Inilah penghambaan total. Dalam tahap ini, adalah pantas Allah menyebut kita "hambaKu". Pengakuan Allah terhadap seorang anak manusia sebagai hambaNya adalah ujud cintaNya yang paling tinggi, dan penghargaan itu diberi imbalan sangat-sangat pantas baik di dunia dan akhirat. 

Beranjak dari sini, kita memahami bahwa hamba Allah adalah kualitas. Namun, kita tahu, kata "hamba Allah" sering digunakan semena-mena. Ketika menyumbang sedikit nama yang ditulis: hamba Allah. Sumbangan ®MDRV¯gede ®MDNM¯pake nama lengkap. 

Ketika teraniaya dan butuh simpati kita menyebut diri hamba Allah (meski kelakukan tak mendukung sebagai hamba Allah). Ketika gagah, kita justru menganiaya, baik diri sendiri mapun orang lain. (Saat itu, kita sesungguhnya lebih hina dina dari hamba dalam pandangan manusia sekalipun). Kita memang sering tanpa malu mengeskploitasi agama demi untuk kepentingan diri pribadi. Tuhan maafkan kami. Ajari kami menjadi hambaMu, menjadi mahkluk yang tahu diri.

Poligami

DI siaran berita Metro TV, sekitar pukul 19.00, Selasa (5-12-2006) malam lalu, Dirjen Bimas Depag, Nasarudin Umar, menyatakan agama selalu dijadikan dalil subjektivitas oleh para pria untuk berpoligami. Padahal, aturan poligami dalam Islam sangat ketat, bahkan, sangat tidak mungkin mampu dilakukan manusia yakni adil. 

Ucapan sang pejabat mengingatkan saya pada firman Allah swt. yang menyatakan sesungguhnya tidak ada satu pun manusia yang mampu bersikap adil. Hanya Allah yang mampu bersikap adil. Itu artinya poligami sesungguhnya tidak mungkin dilakukan. 

Pertanyaannya, kalau tidak mungkin dilakukan, mengapa Islam mengatur dan membolehkan poligami? Dalam keterbatasan pengetahuan, visi, dan wawasan nan dangkal, saya melihat bahwa aturan poligami diberlakukan bagi sistem. 

Dalam sistem kehidupan manusia akan ada satu situasi yang menyebabkan para pria tidak punya pilihan lain selain berpoligami agar terhindar dari fitnah, khususnya fitnah seksual. Sistem itu diberikan bagi pria yang memiliki istri bermasalah sehingga tak mampu menjalankan fungsi keistriannya (melakukan hubungan seksual), atau perempuan yang tak mampu memberikan keturunan permanen. Alasan lain yakni menyelamatkan wanita, dakwah (?), dan menghindari zina sesungguhnya sangat subjektivitas. 

Asbabunnuzul dan keteladanan Nabi saw. dalam berpoligami cukup untuk menjelaskan itu. Usai perang membela Islam, banyak perempuan menjadi janda. Mereka berusia tua dan tak punya penghasilan, sementara lembaga sosial penampung mereka tak ada. 

Maka, Rasulullah menyelamatkan mereka. Wanita pertama yang dipoligami Rasulullah berusia 70 tahun dan sudah menopause. Unsur nafsu syahwat tak ada di situ. 

Konteks dakwahnya jelas. Mari kita lihat di era sekarang, saat di mana lembaga sosial penampung janda-janda tua dan miskin juga bertebaran, adakah pria berpoligami seperti itu? Silakan jawab dengan jujur. Kalaulah alasannya menghindari zina, mengapa pula rumah tangga yang dikorbankan dan mengapa pula nafsu diperturutkan, bukankah aturan tentang zina dalam Islam juga sangat jelas? Saya melihat ayat tentang poligami telah dieksploitasi untuk melegitimasi nafsu syahwat para pria. 

Para wanita dijejali dengan tafsir Alquran dalam sudut pandang sangat patriarkis dan diskriminatif. Dan, keterbatasan pengetahuan agama memuat mereka menerimanya (dengan terpaksa mengikhlaskan diri), apalagi bila yang menjelaskannya para ahli agama. Well, sebagai muslim, konsep poligami harus kita terima. Namun, tafsir konsep ini patut kita revisi karena menempatkan perempuan dalam sudut sangat subordinatif. 

Reintepretasi tafsir menjadi penting agar tak timbul kekacauan sosial dan sistem. Saya percaya, tak ada agama yang menyiksa sebagian umatnya (kaum perempuan), seraya menguntungkan sebagian lainnya (kaum pria). Dalam konteks bernegara, rencana revisi UU Perkawinan merupakan respons positif atas perkembangan di masyarakat. 7 Desember 2006